SELAMAT DATANG

SILAHKAN NEU PIYOH BAK BLOG LOEN YANG SEDRHANA NYO DAN SEMOGA MEUMAMFAAT

Sabtu, 24 Maret 2012

Putroe Phang ( Puteri Pahang - Putroe Kamaliah )

Pada abad ke-17 Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda mengalami masa keemasan dan termasuk salah satu kekuatan adi daya di dunia khususnya di kawasan Selat Malaka.



Di balik kesuksesan seorang laki-laki selalu ada orang perempuan di balik layar. Bagi Sultan Iskandar Muda, perempuan di balik layar itu adalah permaisurinya yang bernama Puteri Pahang yang dalam bahasa Aceh lebih dikenal dengan sebutan Putroe Phang.

Perkenalan Sultan Iskandar dengan Puteri Pahang ini berawal ketika Aceh Darussalam berhasil menaklukkan Pahang. Bersamaan dengan itu, keluarga istana Pahang bersama sekitar 10.000 penduduknya berimigrasi ke Aceh untuk memperkuat pasukan Sultan Iskandar Muda.

Sultan Iskandar Muda rupanya tertarik dengan seorang puteri dan Pahang yang bernama Puteri Kamaliah. Puteri Kamaliah kemudian dinikahi Sultan Iskandar Muda dan diangkat menjadi permaisurinya. Karena Puteri Kamaliah berasal dan Pahang, rakyat Aceh memanggilnya dengan Putroe Phang.

Puteri Kamaliah masyhur karena cerdas dan bijaksana dalam memutuskan persoalan yang dihadapi masyarakat Aceh Darussalam. Pada suatu hari, terdapat kasus pembagian harta waris dengan dua ahli waris yakni seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Adapun harta yang menjadi objek pembagian adalah berupa sawah dan rumah. Diputuskan bahwa anak perempuan mendapatkan sawah sedangkan anak laki-lakinya mendapat rumah.

Anak perempuan tersebut tidak menerima keputusan tersebut dan melakukan banding. Mendengar kasus tersebut, Putroe Phang langsung meresponnya dan membela perempuan tersebut dengan argumen bahwa wanita tidak mempunyai rumah dan tidak dapat tinggal di meunasa (mushola) sedangkan anak laki-laki dapat tinggal di musola. Oleh karena itu, yang layak menerima rumah adalah wanita sedangkan yang layak menerima sawah adalah anak laki-laki. Argumen Putroe Phang itu kemudian disetujui oleh Sultan Iskandar Muda.

Sejak itu, Puteri Kamaliah yang lebih dikenal oleh masyarakat Aceh sebagai Putroe Phang itu menjadi rujukan dalam penyelesaian masalah hukum.

Kerja sama Sultan Iskandar Muda yang gagah, berani, dan adil dengan Permaisuri Putroe Phang yang bijaksana dan selalu membela rakyat yang lemah terutama wanita dan kaum papah mengantarkan kejayaan Aceh menuju masa keemasan.

Di samping Permaisuri Putroe Phang yang berkontribusi bagi pembangunan Aceh Darussalam, terdapat pula beberapa lembaga pemerintahan. Secara struktural, Sultan Iskandar Muda merupakan pemimpin eksekutif tertinggi yang dibantu beberapa pejabat tinggi. Mereka adalah Qadhi Malikul Adil dengan empat orang mufti di bawahnya, Menteri Dirham (keuangan), Baitul Mal yang dibawahnya ada Balai Furdhan (bea cukai).

Di samping lembaga eksekutif terdapat pula lembaga musyawarah yang terdiri atas:
1. Balairung Sari, terdiri atas empat anggota hulubalang
2. Balal Gading, terdiri atas 22 ulama
3. Balai Majelis Mahkamah Rakyat (Parlemen), terdiri atas 73 anggota yang mewakili setiap mukim (daerah), Aceh Darussalam dibagi atas 73 mukim.

Balai Sari dan Balai Gading masih merupakan rumpun lembaga eksekutif sedangkan Balai Majelis Mahkamah Rakyat masuk dalam rumpun lembaga legislatif.

Lembaga-lembaga ini secara resmi dibentuk pada tanggal 12 Rabiul Awal 1042 (1633) dan ditulis dalam suatu undang-undang yang disebut dengan Qanun Al-Asyi Darussalam.

Perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan Puteri Kamaliah dianugerahi seorang puteri yang bernama Puteri Sari Alam yang menikah dengan Sultan Iskandar Tsani dan setelah suaminya itu meninggal Puteri Sari Alam naik tahta menjadi Sultanah dengan gelar Sultanah Tajul Alam Safiatuddin.

Sultan lskandar Tsani juga dikenal dengan Raja Mughal. Ia adalah putera dan Raja Ahmad Syah Pahang. yang termasuk keluarga Pahang yang dibawa Sultan Iskandar Muda ke Aceh. Nama asli Puteri Pahang adalah Puteri Jamilah (ada yang menyebut “Kamaliah”) yang juga terkenal dengan nama Putroe Phang. Menurut satu riwayat. perkawinan Puteri Pahang dengan Sultan Iskandar Muda berlangsung setelah melalui peristiwa yang sangat luar biasa.

Pada suatu hari Sultan Pahang bersama Permaisurinya yang bernama Puteri Jamaliah (Putroe Phang) menghadap Sultan Iskandar Muda dan dalam pertemuan itu Sultan Pahang yang bernama Raja Abdullah (Raja Raden) menyatakan mengetahui niat suci Iskandar Muda menaklukan kerajaannya demi memperjuangkan agama dan menyingkirkan kawasan Melayu dan imperialis Barat dan untuk itu rela menceraikan istrinya untuk dinikahi Sultan Iskandar Muda.

Setelah mendapatkan persetujuan dan keluarga permaisuri Puteri Sendi Ratna Indra (permaisuri pertama). Sultan Iskandar Muda bercerai dengan Puteri Sendi Ratna Indra. Setelah masing-masing istri menyelesaikan masa iddahnya, Sultan Iskandar menikah dengan Puteri Jamaliah dan Raja Abdullah menikah dengan Puteri Sendi Ratna lndra.

Bukti cinta Sultan Iskandar Muda terhadap Putroe Phang adalah bangunan Gunongan. Bangunan ini dibangun untuk membuktikan cintanya kepada Putroe Phang.

Putroe Phang sangat berpengaruh dalam pemerintahan dan penyusunan undang-undang kerajaan sampai-sampai lahir semboyan:

Adat bak Poeu Meureuhom
Hukum bak Syiah Kuala
Qanun bak Putroe Phang
Reusam bak Bentara

Artinya:
Adat dari Marhum Mahkota Alam
Hukum dan Syiah Kuala
Qanun dan Puteri Pahang
Resam dan Bentara (‘uleebalang)

Adat meukoh reubung
Hukum Meukoh purih
Adatjeutabarangho takong
Hukum hanjuet barangho takih

Artinya:
Adat dapat dipotong seperti memotong rebung
Hukum seperti memotong sagak (hujung buluh keras)
Hukum tak dapat diatur dengan semena-mena
(melainkan wajib didasarkan Quran dan Hadis)

Ketika Putri Phang mangkat, upacaranya dilakukan dengan megah dan khidmat. Kain jendela dan tirai Istana Keraton Darud Dunia diganti dengan kain warna hitam. Upacara pelepasan dilaksanakan dengan khidmat seperti dilukiskan oleh Muhammad Junus Djamil sebagai berikut:

“Ketika jenazah diturunkan dan Istana, Sultan Iskandar Muda turun di depan, didampingi dua bentara keraton yang berpakaian serba hitam berselempang merah. Yang di sebelah kanan memegang pedang terhunus bersandar di bahu kanannya dan yang disebelah kirinya memegang payung hitam terbuka yang disebut Payoong panyang-go. Di Mideuen (halaman istana) telah siap segenap barisan dan setelah berhenti sejenak tampil ke muka bentara Keujruen Tandil Keraton Darud Dunia (Tandil Mujahid Chik Seri Dewa Purba) untuk mengucap berita duka dan memohon doa selamat kepada Allah SWT serta selawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Keranda jenazah yang berhias serba indah dengan hiasan keemasan dan permata diletakkan di atas tandu keemasan yang berbentuk segitiga. Masing-masing ujung segitiga dipikul oleh tiga pembesar dan tiga dewan negara, yaitu dewan Mong-mong Angkatan Laut, Angkatan Darat. Didepan sekali berdiri Ketua Dewan Mufti empat (Khuja Madinah) yang lebih terkenal dengan Khuja Pakeh yang berpakaian serba putih (sorban dan jubah) dengan tongkat di tangan kanannya. Di belakangnya diikuti dua pembesar negara Perdana Menteri Seri Ratna Bijaya Sang Raja Meukuta Dilamcaya yang bernama Orang Kaya Seri Maharaja Laila dan Qodli Malikul Adil, keduanya memegang jambangan air mawar yang dibuat dari emas berhias permata. Di belakang mereka, dua orang Bentara yang membawa jambangan teurapan-geutanggi yang mengeluarkan asap dari pembakaran ramuan-ramuan setanggi yang harum semerbak baunya.

Di sebelah kanan keranda (peti jenazah) berdiri Laksamana Meurah Ganti yang berpakaian serba hitam, berselimpang merah serta pedang yang terhunus bersandar di bahunya. Di sebelah kiri berdiri Bentara Tandil (Datuk Bendahara Muhammad Tun Sari Lanang) yang mengembangkan payung kuning keemasan yang berumbai mutiara ke atas keranda dan beliau juga berpakaian hitam dan teungkulook leumbayung di kepalanya, serta berselempang merah. Di bagian belakang jenazah (diantara dua cabang tandu) berdiri Seri Sultan Iskandar Muda yang diikuti di belakangnya sebelah kanan oleh Putera Mahkota (Poteu Cut) dan di belakang sebelah kiri adalah menantu beliau, Pangeran Husain Mughayat Syah bin Sultan Ahmad Perak. Di belakangnya barulah barisan menteri-menteri dan raja-raja serta iringan yang berjumlah ratusan mengikuti di belakang mereka.

Setelah selesai ucapan berita duka barisan bergerak menuju Masjid Raya Baiturrahman dan setelah selesai upacara shalat jenazah, jenazah kembali ke Kraton Darud Dunia dan terus menuju ke pemakaman raja-raja/Sultan. Keranda jenazah dibawa masuk ke dalam makam lalu dilaksanakan upacara pemakaman. Yang turun ke dalam liang lahat adalah Laksamana Meurah Ganti dan Datuk Bendahara Muhammad Tun Seri Lanang (Bentara Tandil Samalanga). Ke dalam Keranda ditungkanlah emas urai (pasir tanah) sekitar tubuh jenazah Putroe Pahang, keranda (peti mati) ditutup lalu di timbun dengan tanah sebagaimana biasa dan acara pemakaman selesai.

Sumber : http://www.modusaceh-news.com

Jumat, 23 Maret 2012

Legenda Nama Aceh

Aceh merupakan sebuah nama dengan berbagai legenda. Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh yang dirangkum dari berbagai catatan lama.

Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa di sana kemudian membuat wajah Aceh semakin majemuk.

Muhammad Said mengutip keterangan dari catatan Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba. 

Orang-orang Arab Saba mengangkut rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.

Namun, Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar. 

Sementara itu, HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mante (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu. 

Semua bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. 

Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho dan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya.
Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri.

Sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari. 

Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm. Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ; orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.

Informasi tentang asal-muasal nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini disebut Krueng Aceh). 

Para anak buah kapal (ABK) itu pun kemudian naik ke darat menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan pohon itu dengan sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah. Menurut Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung Pande (dahulu), Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.

Dalam versi lain diceritakan tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika sang budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai. 

Dalam cerita lain disebutkan, ada dua orang kakak beradik sedang mandi di sungai. Sang adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang bergerak-gerak. Kedua putri itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu adalah seorang bayi. Sang kakak berkata pada adiknya “berikan ia padaku karena kamu sudah mengandung dan aku belum.” 

Permintaan itu pun dikabulkan oleh sang adik. Sang kakak lalu membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia pun berdiam diri di atas balai-balai yang di bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama 44 hari, layaknya orang yang baru melahirkan. Ketika bayi itu diturunkan dari rumah, seisi kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang mume, a nyang ceh (Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang melahirkan).

Mitos lainnya menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang sedang berlayar, dengan suatu sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk setempat dinamai pohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan menjadi nama Aceh. 

Talson menceritakan, pada suatu masa seorang puteri Hindu hilang, lari dari negerinya, tetapi abangnya kemudian menemukannya kembali di Aceh. Ia mengatakan kepada penduduk di sana bahwa puteri itu aji, yang artinya ”adik”. Sejak itulah putri itu diangkat menjadi pemimpin mereka, dan nama aji dijadikan sebagai nama daerah, yang kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi Aceh. 

Mitos lainnya yang hidup di kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh berasal dari sebuah kejadian, yaitu istri raja yang sedang hamil, lalu melahirkan. Oleh penduduk saat itu disebut ka ceh yang artinya telah lahir. Dan, dari sinilah asal kata Aceh. Kisah lainnya menceritakan tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata aceh bermakna tidak pecah. 

Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Aceh adalah dari suku Mantir (Manteu, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang.*** 

Kamis, 22 Maret 2012

Dibalik Cerita Masjid Baiturrahman, Saksi Sejarah Aceh


Mesjid Baiturrahman telah menjadi simbol Aceh. Menelusuri sejarah Mesjid yang berada di jantung kota Banda Aceh ini, ibarat melihat perjalanan bumi Serambi Mekah. dimulai dari masa kesultanan, penjajahan Belanda dan masa bersama Indonesia lengkap dengan pemberontakannya. Mulai Daerah Operasi Militer, perjanjian damai hingga bencana tsunami. Rumah ibadah ini menyaksikan semuanya
Sejarah mencatat, Baiturrahman kembali melewati satu babak dalam sejarah masyarakat Aceh. Mesjid ini merupakan simbol Aceh. Perjalanan Mesjid ini juga merekam sejarah Aceh. Karena itu tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok Mesjid berkubah lima ini dan sedikit mengenal sejarahnya.
Mesjid ini sudah berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman kesultanan. Ada dua versi hikayat pendiriannya. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah membangun Mesjid ini pada abad ke 13. Dalam versi lain menyatakan Baiturahman didirikan pada abad 17, pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tak ada yang bisa memastikan mana yang benar. Nama Baiturahman, menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu Mesjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh. Perubahan fisik mesjid mengikuti alur sejarah bumi Serambi Mekah. Bangunan yang kelihatan sekarang bukanlah lagi bangunan semasa zaman kesultanan. Pada masa kesultanan, gaya arsitektur Baiturahman mirip Mesjid-Mesjid tua di Pulau Jawa. Bangunan kayu dengan atap segi empat dan bertingkat yang memiliki 1 kubah. Pada 1873, mesjid ini dibakar oleh Belanda dikarenakan mesjid dijadikan pusat kekuatan tentara Aceh melawan Belanda. Dan pada tahun itu pula terjadi pertempuran besar antara rakyat Aceh dengan tentara Belanda. Tembak menembak yang membuat gugurnya salah seorang perwira tinggi Belanda bernama Kohler. Pertempuran di Mesjid ini dikenang lewat pembangunan prasasti Kohler pada halaman Mesjid. Letak prasasti di bawah pohon Geulempang, yang tumbuh di dekat salah satu gerbang Mesjid.
Peletakan batu pertama pembangunan kembali Mesjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden. Pembangunan mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan Italia, De Brun. Bahan bangunan Mesjid sebagian didatangkan dari Penang – Malaysia, batu marmer dari Negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang mesjid dari Surabaya. Pembangunan kembali Mesjid dengan satu kubah, selesai dua tahun kemudian. Pada masa residen Y. Jongejans berkuasa di Aceh Mesjid ini kembali diperluas. Kemudian setelah itu, masyarakat Aceh semakin besar, untuk mengupahi dan meredakan kemarahan rakyat Aceh maka Mesjid diperluas lagi kiri kanannya pada tiga tahun kemudian. Ditambahlah dua kubah lagi di atasnya sehingga menjadi tiga kubah. Belanda kemudian meninggalkan Aceh. Bumi Nangroe beralih pada Indonesia.
Pada 1957, masa pemerintahan presiden Soekarno, Mesjid ini kembali berubah. Dua kubah baru dibuat di bagian belakang. Dibangun pula dua menara dengan jumlah tiang mencapai 280 buah. Karena perluasan ini, sejumlah toko di pasar Aceh yang berada di sekeliling mesjid tergusur. Peletakan batu pertama dilakukan oleh menteri agama Republik Indonesia pada masa itu KH Ilyas, kemudian dibangun kira-kira empat tahun. Bangunan berikutnya itu sudah sampai pada menara yang berikut ini. Renovasi Mesjid yang dilakukan pemerintah Soekarno terjadi pada masa gerakan Darul Islam pimpinan Daud Beureueh. Sehingga banyak kalangan yang mengaitkan pembangunan itu sebagai usaha pemerintah meredam pemberontakan itu. Lima kubah juga dianggap mewakili Pancasila yang digagas Soekarno. Pada kurun 1992-1995, Mesjid kembali dipugar dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara. Setelah dipugar, Mesjid itu mampu menampung 10.000 hingga 13.000 jemaah. Halaman Mesjid juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.
Semua pemugaran ini dilakukan dengan mempertahankan arsitektur dan bentuk ornamen lama pada masa Belanda. Salah satu tiang peninggalan Belanda, ketika Mesjid masih berkubah satu, masih dipertahankan. Arsitektur Mesjid ini bercorak eklektik, yaitu gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negeri.Ini misalnya tampak pada tiga pintu bukaan serta jendela yang bisa berfungsi sebagai pintu masuk. Jendela ini dibentuk oleh empat tiang langsing silindris model arsitektur Moorish, yang banyak terdapat di Mesjid-Mesjid Afrika Utara dan Spanyol. Sementara bagian tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar, diatapi kubah utama yang bercorak bawang. Pucuknya dihiasi kubah, mirip Mesjid-Mesjid kuno di India. Pada jendela yang sekaligus menjadi pintu terdapat ukiran yang tampak kokoh dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, Mesjid ini ditempatkan di tengah lapangan terbuka, sehingga semua bagian Mesjid jelas terlihat juga dari kejauhan.
Mesjid Baiturrahman menjadi saksi darurat militer di Aceh, ketika muncul Gerakan Aceh Merdeka. Baiturrahman ini menjadi tempat memanjatkan doa dan harapan rakyat Aceh atas tanggungan beban konflik yang dideritanya. Baiturrahman ini juga menjadi sarana singgah pejabat pusat mengunjugi Aceh yang ketika itu tak aman. Baiturrahman yang konon merupakan salah satu Mesjid terindah Asia Tenggara ini juga menjadi saksi bisu bencana tsunami. Bencana memilukan itu juga merusak sejumlah bagian Mesjid. Rakyat menyelamatkan diri kedalam mesjid sembari meneriakkan Asma Allah.
Pada halaman Mesjid inilah berdirinya posko bencana pertama pasca tsunami Desember 2004 tersebut. Mesjid ini tangguh bertahan dari gempa dan terjangan air laut yang naik ke daratan. Hanya sedikit bangunan yang retak akibat gempa.
Pasca tsunami perdamaian datang. Mesjid ini kembali menjadi bagian sejarah itu. Di Mesjid inilah warga menggelar doa khusus ketika delegasi Indonesia bertemu dengan wakil Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia. Mesjid Baiturrahman menyaksikan perubahan Aceh pasca tsunami dan perjanjian damai. Ketika syariah Islam berlaku di Serambi Mekah, kawasan Mesjid Baiturahman dinyatakan sebagai area terbatas. Hanya pengunjung yang menutup aurat sesuai hukum syariah boleh masuk halaman Mesjid.

LEGENDA ACEH "PUTRI PUKES" MANUSIA MENJADI BATU


GUA Putri Pukes merupakan salah satu objek wisata di Kabupaten Aceh Tengah. Ceritanya diriwayatkan sebagai legenda antara mitos dan fakta. Betul tidaknya legenda Putri Pukes, hingga sekarang belum ada yang bisa memastikannya. Gua Putri Pukes tempat legenda itu diceritakan, kini sudah menjadi tempat wisata, tetapi sangat di sayangkan gua tempat manusia yang menjadi batu itu sudah disemen dan ditambah-tambah sehingga tidak lagi alami.

Di dalam gua Putri Pukes tersebut terdapat batu yang dipercayai adalah Putri Pukes yang telah menjadi batu, sumur besar, kendi yang sudah menjadi batu, tempat duduk untuk bertapa orang masa dahulu, alat pemotong zaman dahulu.
 
Abdullah, penjaga gua, Selasa (9/3) kepada Harian Aceh menceritakan, batu putri pukes tersebut membesar karena kadang-kadang batu tersebut menangis sehingga air mata yang keluar tersebut menjadi batu dan makin lama batu tersebut makin membesar.


Sementara sumur besar kata Abdullah, setiap tiga bulan air di sumur tersebut kering dan tidak ada air nya, bila ada air orang pintar akan datang untuk mengambil air tersebut. Sedangkan kendi yang telah menjadi batu tersebut pernah bawa oleh orang, tetapi dikembalikan lagi karena dilanda resah setelah mengambilnya. “Sedangkan tempat bertapa itu di gunakan oleh orang zaman dahulu untuk melakukan bertapa guna mencari ilmu dan alat pemotong (pisau) peninggalan manusia purbakala kata yang ditemukan di dalam goa putri pukes,” jelas Abdullah.

Putri Pukes
Tidak semua orang Gayo mengetahui cerita legenda Putri Pukes, sebagian dari orang Gayo itu mengetahui legenda itu tetapi tidak mengetahui bagaimana ceritanya. Menurut cerita dan informasi yang  dikumpulkan dari berbagai sumber yang mengetahui tentang legenda Putri Pukes.
 
Gua Putri Pukes terletak di sebelah utara, tepatnya di Kampung Mendale, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah Putri Pukes merupakan nama seorang gadis kesayangan dan anak satu-satunya yang berasal dari sebuah keluarga di Kampung Nosar, Kecamatan Bintang, Aceh Tengah.

Suatu hari dia, dijodohkan dengan seorang pria yang berasal dari Samar Kilang, Kecamatan Syiah Utama Kabupaten Aceh Tengah (sekarang Kabupaten Bener Meriah). Pernikahan pun dilaksanakan, berdasarkan adat setempat.
Mempelai wanita harus tinggal dan menetap di tempat mempelai pria. Setelah resepsi pernikahan di rumah mempelai wanita selesai, selanjutnya kedua mempelai diantar menuju tempat tinggal pria. Pihak mempelai wanita diantar yang dalam bahasa gayo disebut ‘munenes’ ke rumah pihak pria ke Kampung Simpang Tiga Bener Meriah.

Pada acara ‘munenes’ pihak keluarga mempelai wanita dibekali sejumlah peralatan rumah tangga seperti kuali, kendi, lesung, alu, piring, periuk dan sejumlah perlengkapan rumah tangga lainnya. Adat ‘munenes’ biasanya dilakukan pada acara perkawinan yang dilaksanakan dengan sistem ‘juelen’, dimana pihak wanita tidak berhak lagi kembali ke tempat orangtuanya.
 
Berbeda dengan sistem ‘kuso kini’ (kesana kemari) atau ‘angkap’. Kuso kini, pihak wanita berhak tinggal di mana saja, sesuai kesepakatan dengan suami. Sementara sistem ‘angkap’, adalah kebalikan dari ‘juelen’, pada sistem perkawinan ini, pihak lelaki diwajibkan tinggal bersama keluarga pihak wanita, disebabkan pihak wanita yang mengadakan lamaran terlebih dahulu.
 
Pernikahan ini juga disebabkan beberapa hal antara lain, mempelai pria sebelumnya meminta atau mengemis kepada wali mempelai wanita untuk dinikahkan dengan putrinya, dengan alasan sangat mencintainya. Sehingga sebagai persyaratannya, pihak pria harus tinggal bersama keluarga mempelai wanita.

Disinilah detik-detik terjadinya peristiwa sehingga nama Putri Pukes terkenal hingga sekarang, saat akan melepas Putri Pukes dengan iringan-iringan pengantin, ibu Putri Pukes berpesan kepada putrinya yang sudah menjadi istri sah mempelai pria. “Nak…sebelum kamu melewati daerah Pukes yaitu daerah rawa-rawa sekarang menjadi Danau Laut Tawar. Kamu jangan penah melihat ke belakang,”  kata ibu Putri Pukes.
Sang putri pun berjalan sambil menangis dan menghapus air matanya yang keluar terus menerus. Karena tidak sanggup menahan rasa sedih, membuat putri lupa dengan pantangan yang disampaikan oleh ibunya tadi. Secara tak sengaja putri menoleh ke belakang, dengan tiba-tiba putri pukes langsung berubah menjadi batu seperti seperti yang sekarang kita jumpai di dalam Gua Putri Pukes. Apakah itu hanya mitos atau memang benar-benar terjadi, tetapi warga setempat percaya kalau cerita Putri Pukes itu benar ada.

Kerangka Manusia Purba
Setahun yang lalu tepatnya maret 2009 Tim Arkeologi dari Medan Sumatera yang melakukan penelitian situs sejarah di Takengon, Aceh Tengah menemukan kerangka manusia purba yang diperkirakan berusia 3.500 tahun di Gua Putri Pukes.
Tim Arkeologi tersebut terdiri dari 15 orang itu beranggotakan Lucas Partanda Koestoro, DEA, Dra. Nenggih Susilowati, Defri Elias Simatupang, SS, Stanov Purnawibowo, SS, Taufiqurahman, SS, Dra. Suriatani Supriyadi, Suhadi S. Sos, Dra. Jufrida, Dekson, Masdar, Pesta H. H. Siahaan, Briska, Umi N. Syahra, Sopingi Silalahi dan ketua Tim Ketut Wiradnyana.
Menurut Ketut pada waktu itu, kerangka itu terdiri dari tulang paha dan sejumlah peralatan milik manusia purba seperti kapak batu dan lempengan gerabah, saat menemukan kerangka berupa tulang belakang paha kaki dan pinggul ditemukan dalam posisi tertindih batu.
Saat melakukan penelitian setahun lalu itu, Ketut menjelaskan, komunitas orang-orang purba di situs ini mempunyai kebiasaan mengebumikan mayat dengan  menindihkan batu diatasnya untuk menghindari mayat tidak dimakan binatang buas.

sumber http://wari-wagito.blogspot.com/2010/07/legenda-aceh-putri-pukes-manusia.html

Legenda Gajah Puteh di Kerajaan Aceh Darussalam

M. Junus Djamil dalam bukunya yang berjudul “Gadjah Putih” yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun1959 di Kutaradja, antara lain telah menulis tentang “Riwajat asal usul wudjudnya Gadjah Putih di Keradjaan Atjeh” yang berhubungan dengan berdirinya Kerajaan Linge di daerah Gayo.tulisan tersebut bersumber dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu raja dari Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di daerah Gayo Laut pada masa kolonial Belanda dahulu.

Menurut Junus Djamil di sekitar tahun 1025 di daerah Gayo telah berdiri Kerajaan Linge pertama yang dipimpin oleh seorang raja yang namanya “Kik Betul” atau“Kawee Teupat”. Menurut sebutan orang Aceh, pada masa berkuasanya Sultan Machuclum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak sekitar tahun 1012-1058.

Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai beberapa anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana. Dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi Raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai.Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.

Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge.Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya MeurahMege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.

Baru 500 tahun kemudian yaitu sekitar tahun 1511, diketahui seorang raja keturunan Raja Linge yang dikenal sebagai Raja Linge ke XIII. Raja Linge ke XIII terkenal, karena selain kedudukannya di Tanah Gayo, juga mempunyai kedudukan penting di pusat Kerajaan Aceh dan di dalam Pemerintah Kerajaan Johor di semenanjung Tanah Melayu.

Ketika Portugis menyerang dan merebut Kerajaan Malaka tahun 1511, Sultan Mahmud Syah dari Malaka terpaksa mengundurkan diri ke Kampar di daerah Sumatera, sedang keluarganya diungsikan ke Aceh Darussalam. Dalam keadaan yang sulit ini Kerajaan Aceh telah ikut membantu Raja Malaka tersebut. Hubungan kerja sama ini telah berkembang demikian rupa hingga terjadi pula suatu perkawinan yang dapat dikatakan sebagai perkawinan politik antara Kraton Aceh dengan Kraton Malaka. Seorang putra Sultan Malaka bernama Sultan Alaudin Mansyur Syah dinikahkan dengan seorang putri Kerajaan Aceh. Sebaliknya seorang putri Sultan Malaka dikawinkan pula dengan seorang pembesar Kerajaan Aceh yaitu Raja Linge ke XIII.

Raja Linge ke XIII juga duduk dalam staf Panglima Besar Angkatan Perang Aceh (Amirul Harb), sejak Sultan Aceh berjuang mengusir Portugis dari daerah Pase dan Aru.Karena kedudukannya yang penting dalam Kerajaan Aceh, maka kedudukannya sebagai Raja Linge diserahkan kepada anaknya yang tertua menjadi Raja Linge XIV di
tanah Gayo.

Dalam tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru yang dipimpin oleh Sultan Alaudin Mansyur Syah. Raja Linge XIII duduk dalam Kabinet Kerajaan Johor ini sebagai wakil dari Kerajaan Aceh. Dan dalam rangka membangun dan mengembangkan Kerajaan Johor baru, di samping menghadapi kaum penjajah Portugis, Sultan Johor telah menugaskan kepada Raja Linge XIII untuk membangun sebuah pulau di Selat Malaka yang termasuk wilayah Kerajaan Johor. Pulau tersebut kemudian terkenal dengan “Pulau Lingga”. Selama Raja Linge XIII membangun Pulau Lingga ini dia memperoleh dua orang anak lelaki, seorang di antaranya bernama “Bener Merie” dan seorang lagi adiknya bernama “Sengeda”. Di Pulau Lingga inilah kemudian Raja Linge XIII meninggal dunia.

Setelah meninggalnya Raja Linge XIII, istrinya yang berasal dari Kraton Malaka itu, pindah ke Aceh Darussalam dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil, yakni Bener Merie dan Sengeda. Ketika kedua-duanya menginjak dewasa, barulah ibunya memberi tahukan asal keturunan ayahnya di Linge Tanah Gayo. Abangnya yang tertua menjadi Raja Linge XIV di negeri Linge menggantikan ayahnya.

Demikianlah Bener Merie dan Sengeda kemudian berangkat ke Tanah Gayo untuk menemui abang dari ayahnya yaitu Raja Linge XIV.Tetapi malang nasib mereka, karena kedatangannya tidak diterima dengan baik oleh Raja Linge XIV,malahan mereka dituduh telah membunuh ayahnya Raja Linge XIII. Kedua -duanya dijatuhi hukuman mati. Bener Merie atas perintah Raja Linge XIV dibunuh, sedang pembunuhan Sengeda ditugaskan kepada Raja Cik Serule. Tetapi Raja Cik Serule tidak mau melaksanakan tugasnya, Sengeda disembunyikannya sehingga terlepas dari pembunuhan. Peristiwa ini terjadi pada masa Sultan Aceh Alaidin Ria’yah II sedang berkuasa di Aceh tahun 1539-1571.

Dalam suatu upacara di Kraton Aceh, yang dihadiri oleh seluruh raja-raja Aceh, Sultan memerintahkan kepada mereka untuk mencari “gajah putih” yang dikabarkan terdapat di hutan-hutan Tanah Gayo,untuk dipersembahkan kepadanya. Sultan akan memberikan hadiah kepada siapa yang menangkap dan menyerahkan gajah putih tersebut kepadanya.

Walaupun dengan rasa kecewa Raja Linge XIV menyiapkan perutusan ke Darussalam untuk mempersembahkan gajah putih tersebut kepada Sultan. Dia tidak mengetahui bahwa yang menangkap gajah putih tersebut adalah Sengeda yang telah diperintahkannya untuk dibunuh.

Pada upacara penyerahan gajah putih keadaan Sultan di Kraton Aceh, gajah putih yang semula direncanakan diserahkan oleh Raja Linge XIV kepada Sultan ternyata gagal, karena gajah putih tersebut mengamuk, tidak mau dituntunnya. Sifatnya yang biasanya jinak telah berubah menjadi berang dan ganas, mengejar-ngejar Raja Linge XIV yang hampir-hampir tewas.

Akhirnya Sengeda yang dapat menjinakkan gajah putih tersebut, dan menyerahkannya kepada Sultan dengan tenang. Semua yang hadir menjadi tercengang-cengang, Sultan menanyakan peristiwa yang aneh itu. Sengeda terpaksa membongkar rahasia kejahatan Raja Linge XIV yang telah membunuh abangnya Bener Merie.

Mendengar keterangan Sengeda ini, Sultan sangat murka, dan segera memerintahkan menangkap Raja Linge XIV. Kemudian dimajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati. Tetapi beruntung, bagi Raja Linge XIV, dia tidak jadi dihukum mati, karena ibu Sengeda dan Sengeda sendiri memberi maaf kepadanya di muka pengadilan, sehingga Sultan membatalkan hukuman mati tersebut. Hukumannya diperingan sekedar diturunkan
pangkatnya dan membayar diet atau semacam denda.

Segera setelah peristiwa gajah putih ini, Sultan mengangkat Sengeda menjadi Raja Linge ke XV menggantikan Raja Linge XIV yang khianat itu. Kisah atau legenda lain mengenai peristiwa “gajah putih”dan kisah “Sengeda” adalah berdasar versi yang ditulis oleh seorang penyair Gayo yaitu Ibrahim Daudi atau yang lebih terkenal Mude Kala dalam bentuk syair bahasa Gayo. Jalan ceritanya hamper sama, tetapi isinya jauh berbeda.

Perbedaan terpenting antaranya adalah menurut tulisan M. Junus Djamil kisah “gajah putih” dan Sengeda tersebut berhubungan dengan pengangkatan Sengeda menjadi Raja Linge XV, sedangkan dalam kisah dalam bentuk syair Gayo versi Mude Kala, kisah atau legenda gajah putih dan kisah Sengeda tersebut berhubungan dengan pembentukan “Kejurun Bukit” di Gayo Laut.

Menurut versi Mude Kala, karena jasanya menemukan gajah putih dan membongkar rahasia pembunuhan terhadap Bener Merie,maka Sengeda diangkat menjadi Raja Bukit pertama di Gayo Laut.Sengeda dianggap sebagai keturunan raja-raja Bukit selanjutnya.

Sumber : Modus Aceh

Sejarah Tapaktuan dengan Legenda Tuan Tapa dan Putri Naga

Tapaktuan sangat terkenal dengan sebuah Legenda Tuan Tapa dan Putri Naga. Cerita tersebut sangat hidup didalam masyarakat disana yang sangat mudah untuk dapat kita dengar dari A sampai Z. Adapun Legenda tersebut dibarengi dengan ornamen ornamen yang memiliki bentuk dan rupa seperti yang tersebut di dalam cerita tersebut. Ada baiknya saya ceritakan sedikit tentang Legenda Tuan Tapa dan Putri Naga itu.
” Alkisah, dizaman dahulu kala, ribuan tahun lalu, di Aceh Selatan hidup dua ekor naga yang sangat perkasa dan memiliki ilmu sakti mandraguna. Sepasang naga ini, memiliki anak yang bernama Putri Naga. Putri ini cantik jelita.  Putri nan rupawan ini, katanya didapat dari perebutan sepasang Naga (Jantan dan Betina) dengan orangtua sang putri.
Konon ceritanya, suatu ketika – tidak ada masyarakat yang mengetahui tahun pasti, sepasang naga tengah berjalan-jalan menyusuri lautan yang bergelombang. Si Naga jantan tiba-tiba berhenti, tertegun memperhatikan sebuah titik hitam di tengah laut. Titik hitam itu menarik perhatiannya. Lamat-lamat titik hitam itu mendekat ke arah sang naga. Gelombang laut yang membawanya mendekat. Si Naga Jantan dan Betina terus memperhatikan titik hitam itu. Ketika titik hitam itu semakin mendekat, Sang Naga terjun alang kepalang. Titik hitam itu adalah tiga sosok manusia, berada lam perahu kecil yang diombang-ambingkan gelombang laut Aceh Selatan. Ketiga manusia itu adalah sepasang suami-istri bersama bayinya. Bayi mungil ini berada dalam pangkuan ibunya. Mereka sengaja datang ke daerah itu bermaksud mencari rempah-rempah yang keberadaannya sudah cukup dikenal. Aceh Selatan sejak zaman Belanda menjajah daerah itu memang dikenal kaya akan hasil alam. Nilam, Cengkeh dan Pala merupakan tumbuhan yang dominan disana. Bahkan tumbuhan itu hingga kini menjadi komuditi unggulan daerah itu.
setelah melihat ketiga anak manusia itu, Sepasang Naga sakti yang bisa melakukan terhentak. Lalu, dia meniup perahu yang sudah sangat dekat itu. Sekali tiup saja, perahu kecil itu terombang-ambing dan tenggelam ditelan ombak deras. Kemudian Naga Betina, menjulurkan lidahnya menangkap putri kecil yang terhempas dari perahu itu.
Pasangan Naga ini sangat senang mendapatkan putri berbentuk manusia. Konon naga itu memang sudah lama mengidam-idamkan seorang putri. ”Setelah selamat dan menepi kedarat orangtua si Putri begitu sedih kehilangan buah hatinya dan tidak tahu ke mana putrinya menghilang. Mereka berpikir bahwa anak perempuan kesayangannya sudah hilang tenggelam dalam lautan dan badai atau hilang entah ke mana, Akhirnya sepasang naga membawa putri mungil hasil rampasan mereka ke sebuah pulau, pulau ini terletak di Batu Hitam, Kecamatan Tapaktuan Aceh Selatan.
Kedua Naga itu sangat menyanyangi putri pungut mereka. Bahkan, Naga betina selalu memeluk putri kecil dalam cengkeramnya agar tidak hilang. Sang Putri kecil, setelah sadar dari pingsannya, menangis sejadi-jadinya begitu melihat sosok Naga aneh dan menyeramkan. Si Putri kecil Ia takut. Diapun terus menangis sekuat-kuatnya. Naga betina pusing memikirkan tangisan putri itu. Terpaksa dia menggunakan kesaktiannya untuk menenangkan si Putri agar tak mengeluarkan air mata lagi.
Putri ini diberi nama Putri Bungsu. Mereka sangat mengasihi putri ini. Bahkan Naga Jantan menciptakan tempat bermain nan indah di gunung itu. Semua buah-buahan dan minuman tersedia disana. Semua itu dilakukan agar Putri Bungsu betah tinggal bersama mereka. ”Putri inilah yang kemudian disebut Putri Naga,”.
telapak kaki tuan tapa dibatuWaktu terus bergulir. Putri Bungsu merangkak remaja. Dia menetap bersama naga disebuah gua yang dalam. Suatu hari, sang Putri Bungsu secara tak sengaja mendengar obrolan sepasang Naga. Dari luar gua dia terus menyimak percakapan itu. Dia tersentak. Sadar, bahwa dirinya bukan keturunan naga. Dia memiliki orang tua yang juga berasal dari bangsa manusia. Niat untuk melarikan diripun muncul dalam benaknya. Putri Bungsu tidak gegabah. Dia bersabar untuk menemukan waktu yang tepat melarikan diri dari gunung itu. Dia takut akan kesaktian kedua naga tersebut.
Waktu yang dinantikanpun tiba. Dari atas gunung, Putri Bungsu melihat sebuah kapal berlayar dibawah kaki gunung itu. Gunung ini memang tepat berada di depan laut. Naga Jantan kala itu sedang tertidur dipinggir laut. Perlahan dia mengangkat kaki, sedikit menjinjing agar langkahnya tidak didengar Naga Jantan.
Perahu layar semakin dekat. Dia bimbang. Teringat akan kesaktian naga tersebut. Jarak Naga Jantan beristirahat dengan laut sangat dekat. Khawatir ketahuan, diapun mengurungkan niat untuk kabur dari gunung itu.
Siang-malam Putri nan cantik jelita itu mencari akal. Ide cemerlangpun muncul dikepalanya. Satu dia mengajak pasangan Naga berjalan-jalan menyusuri pantai di pulau itu. Naga kelelahan dan tertidur pulas. Putri Bungsu tak menyianyiakan kesempatan emas itu. Kakinya diseret ke atas sebuah bukit kecil yang dekat dengan laut. Agar dia bisa melihat perahu yang melintas. Jarang sekali perahu yang mahu mendekat ke pulau itu. Namun hari itu keberuntungan Putri Naga. Sebuah perahu kecil merapat. Dia melambaikan tangan. Awak perahu ada yang menyapanya.
Putri bungsu naik ke atas kapal dan ikut bersama awak kapal itu. Naga yang baru terbangun dari tidur, terkejut setengah mati. Putri kesanyangannya telah pergi. Dalam benaknya, Naga berujar, pasti perahu itu yang melarikan putriku. Dia mengejar perahu yang berjalan sangat pelan itu.
Lalu apa hubungan Putri Bungsu, Naga dan Tuan Tapa? sabar…. saya akan lanjutkan ya.. :)
Sepasang Naga itu mengejar perahu tersebut. Sementara itu, di Gua Kalam, tidak jauh dari bukit itu, seorang manusia sedang bertapa. Dia tersentak dari pertapaanya. Seakan dia sadar akan ada bencana besar dibumi. Inilah Tuan Tapa. Dia keluar dari gua tersebut. Lalu menatap ke laut lepas. Terlihat sepasang Naga dengan kemarahan puncak sedang mengejar sebuah perahu nelayan. Tuan Tapa terkenal dengan tongkat saktinya.
Dihadangnya Naga yang sedang mengejar perahu. Perkelahian hebatpun tak dapat dihindarkan. Dari mulut kedua Naga menyemburkan api. Tuan Tapa menghela tongkatnya hingga mengeluarkan air deras dan memadamkan api Naga. Tak mau kalah, sang Naga jantan pun mengeluarkan ribuan anak panah berapi yang diarahkan ke Tuan Tapa. Tuan Tapa bisa menghindari serangan itu. Tak ketinggalan, Naga betina juga mengeluarkan pisau-pisau beracun yang juga berhasil dielakkan Tuan Tapa.
Karena terus-menerus mengeluarkan kekuatannya, kesaktian kedua Naga mulai berkurang. Kesempatan itu dimanfaatkan Tuan Tapa untuk menyerang lebih dahsyat. Dengan tongkat sakti miliknya, Tuan Tapa mengayunkan benda panjang itu ke arah dua Naga. Naga betina, mencoba menghindar dengan cara melarikan diri menjauhi Tuan Tapa. Saat lari kencang tak tahu arah itulah sang Naga betina menabrak sebuah pulau hingga terbelah pulau. Pulau terbelah ini kemudian oleh masyarakat Aceh Selatan disebut sebagai Pulau Dua, di Kecamatan Tapaktuan Aceh Selatan
Sementara Tuan Tapa mengejar sang Naga jantan yang sudah terluka akibat serangan ‘tongkat sakti’. Tuan Tapa memukul tongkat saktinya bertubi-tubi ke tubuh Naga jantan hingga hancur berkeping-keping dan jatuh terjerembab ke tanah. Tubuh Naga jantan hancur berserakan dan darah berceceran yang menyebar memerahkan tanah, bebatuan dan lautan.
Saat ini bekas tempat ceceran darah Naga itu kini masih terlihat berupa tanah dan batu yang memerah. Kini disebut dengan Tanah Merah ( Batu Mirah ). Sedangkan hati sang Naga, yang pecah dan terlempar menjadi beberapa bagian akibat pukulan tongkat sakti Tuan Tapa, peninggalannya hingga sekarang masih terlihat berupa batu-batu berwarna hitam berbentuk hati. Daerah ini kemudian diberi nama Desa Batu Hitam, masih dikecamatan yang sama.
Sementara di tempat pertempuran Naga dan Tuan Tapa, masih meninggalkan jejak berupa tongkat. Tongkat mirip baru itu, dipercayai sebagai tongkat Tuan Tapa.
Bagaimana nasib sang Putri? Sang Putri akhirnya kembali hidup normal layaknya manusia dan hidup bahagia bersama kedua orangtuanya. Putri Bungsu kemudian mendapat julukan sebagai ‘Putri Naga’.”
Dan Lagenda ini telah diperkuat dengan subuah bukti yang telah ditinggalkan oleh Si Tuan Tapa berupa Tongkat dan Topinya yang berapa di tengah laut Tapaktuan dan hanya bisa di lihat dari sebuah gunung yang bernama Gunung Lampu menjelang senja hari saja. Kemudian sebuah Tapak kaki dan makam Tuan Tapa yang ukurannya wowww,,, that is so big,,, .
Begitulah sedikit cerita tentang Legenda Kota Tapaktuan. Karena kisah ini pula, orang menyebutkan Aceh Selatan sebagai Kota Naga. Bahkan, jika memasuki kota Tapaktuan pemerintah Daerah Aceh Selatan mengukir gambar naga tepat di dinding pinggir jalan. Sekitar seratus meter dari arah timur kantor Bupati Aceh Selatan.